Jumat, 08 Mei 2020

Purnama Ketiga Puluh Sembilan

PURNAMA KETIGA PULUH SEMBILAN

Hujan, tidak ada yang istimewa sebab ini musim penghujan. Bau harum tanah menjadi aroma musim ini, namun aromanya sudah tidak kuat lagi kali ini sebab hujan tak berhenti sejak subuh tadi. Suasana pagi pedesaan, harum melati desa, putihnya tercampur lumpur cokelat ulah hujan, kabut tipis dari asap dapur emak-emak. Sejak pagi sekali wanita 20 tahunan di rumah yang tak begitu besar ber cat cream pudar itu mondar mandir keluar masuk rumah, sesekali ia  keluar teras rumahnya menengadah kelangit, ia tertunduk lesu, kecewa langit tidak juga cerah.
Sesekali ia masuk ke kamar tidurnya lagi, menata kembali baju dan kerudung maroonnya didepan cermin, ia harus terlihat cantik menjemput suaminya pulang melaut. Setelah beberapa kali keluar, kusut wajahnya hilang, hujan berhenti, ia sumringah. Ia berlari lari kecil keluar dari rumah.
“Zainab, mau kemana Nak?“. Suara perempuan tua dari dalam rumah menghentikan langkahnya.
“Mau ke laut Bu, jemput Bang Ihsan“. Kedua ujung bibir Zainab tertarik penuh.
“Sudahlah Zainab !!“. Kesedihan nampak pada wajah dengan garis-garis penuaan yang sudah tidak sedikit lagi, bibir Zainab manyun ia seperti tak suka dengan perkataan Ibunya. Tapi tidak terlalu ia fikirkan, ia tetap berbalik, berlari jauh dari rumahnya.
10 menit ia berlari-lari kecil, sesekali ia berjalan pelan saat suara nafasnya mulai terdengar ngos ngosan, jalanan kampungnya memang tidak begitu bagus, lubang-lubang kecil dan agak besar menjadi genangan air hujan dan lumpur, licin, ia harus berhati-hati agar tidak jatuh.
Suara gemuruh ombak, suara ramai para nelayan yang baru tiba, para tengkulak, para pembeli menawar-nawar ikan segar dari laut nelayan. Zainab berlari menghampiri kerumunan-kerumunan itu, Zainab bertanya hampir pada semua orang yang ada.
“Paman, ketemu dengan suami saya tidak?, Bang Ihsan?“. Lelaki paruh baya yang Zainab tepuk pundaknya itu menoleh ke arahnya.
“Tidak Zainab!!“. Raut kecewa pada wajah Zainab, tapi Zainab tidak menyerah ia terus saja bertanya. Peluh mulai bercucuran dikeningnya yang  sesekali ia seka dengan tangannya, ia tampak mulai letih, sejenak ia menghentikan pencariannya dan beristirahat di sebuah gazebo tua dibawah pohon besar dan rindang. Dibenamkan tubuhnya yang mulai kurus itu di lantai gazebo itu, gazebo tempatnya pertama kali bertemu Ihsan, gazebo tempatnya sering menghabiskan waktu bersama Ihsan setelah pulang melaut. Terputar jelas semua memorinya tentang gazebo itu, ujung mata Zainab basah.
Merasa letihnya sudah mulai hilang, Zainab bangkit dan meneruskan bertanya
“Bang Zainal lihat Bang Ihsan tidak? Dia belum pulang“. Ujung bibir Zanab tertarik sedikit, berharap jawaban terbaik.
“Pulanglah Nab, sudahi“.  Jawaban pria berkaos kuning yang nampak basah kuyup karena peluh, yang Zainab panggil Bang Zainal itu membuatnya lunglai, bibir Zainab bergetar, ujung matanya mulai basah lagi, sugguh bukan itu jawaban yang ia inginkan, ia berlari pulang.
***
Janur kuning melengkung, anak kecil berlarian mencuri jajanan, para orang dewasa sibuk mondar mandir tampak mempersiapakan acara. Sebuah pesta pernikahan digelar, para gadis desa berdandan cantik, tertawa ria mendampingi si bunga desa yang dihias melati, tangannya dihias henna dengan ukiran terindah saat itu. Si bunga desa akan segera melepas statusnya, melepas masa lajangnya, ia akan segera diijab qabul.
***
Ihsan, suami zainab seorang pemuda kampung biasa, tapi beruntung dapat mempersunting Zainab si bunga desa. Nasibnya justru kurang beruntung saat malam pertamanya bersama Zainab, Zainab istrinya tiba-tiba datang bulan. Cinta Ihsan pada Zainab lebih besar dari nafsunya, cukup bagiya melihat Zainab terbaring disisinya.
Ihsan, seorang pekerja keras, pulang sebentar disiang hari, malamnya ia habiskan bersama angin dan ombak ditengah laut dan pulang malam hanya bila purnama. Ini sudah 12 purnama sejak pernikahan Zainab dengan Ihsan, tapi Zainab masih suci sebab tamu kewanitaannya selalu datang bersama purnama. Sudah lama Zainab gelisah, ia sungguh tidak enak pada suaminya, beberapa kali ia meminta untuk berobat tapi selalu ditolak Ihsan. Ihsan akan menunggu hingga saatnya tiba.
“Istirahatlah dulu Bang, pulanglah sebelum purnama“. Zainab mencoba merayu suaminya itu.
“Biarlah Dik, tak apa. Abang harus bekerja keras untukmu, Abang juga ingin membuatmu seperti saudaramu yang lain, Abang juga ingin membelikanmu emas yang banyak“. Zainab beranjak, ia hampiri Ihsan yang berdiri di dekat jendela kamar mereka.
“Bang, sungguh Zainab tidak butuh itu, Abang jangan terlalu mendengarkan kata-kata kakak zainab, sudah cukup bagi Zainab memiliki Abang“. Zainab mencoba meyakinkan, kali ini ihsan tidak menjawab, ia hanya mengelus lembut rambut panjang Zainab yang dibiarkan terurai tanpa kerudung kala itu.
***
Pakaian Zainab terlihat terlihat sangat lusuh, berbeda sekali saat ia mengenakannya pertama kali, sehari setelah pernikahannya dengan Ihsan, baju itu pemberian Ihsan dihari pernikahan mereka. Langkahnya juga tampak sempoyongan. Ya, Zainab seminggu terahir memang sudah tidak merawat diri, pikirannya kalut. Pandangannya kabur, kosong. Rindu juga nampaknya semakin menggerogoti tubuhnya, Zainab kurus.
“Purmana malam nanti, 39 purnama tepat seribu hari pernikahan kita Bang, saat rindu ini benar-benar sakit, kau pasti datang memelukku kan Bang!“.
Zainab, wanita cantik itu terus melangkah dan terhenti dibawah pohon rindang tempatnya biasa berteduh bersama Ihsan. Tatapan kosongnya tiba-tiba berisi, Zainab menoleh kanan kiri, ada yang ia cari. Gazebo kenangannya hilang, Zainab terus mencari kesana kemari. Tapi nihil, ia tidak dapat menemukannya. Zainab tak kuasa, ia bersimpuh menjerit sejadi-jadinya. Segerombolan orang asing yang tampak tengan berbincang berdiri tak jauh darinya kaget, mereka menghampiri Zainab, mereka coba gotong tubuh kurusnya dan mencoba mencari alasan Zainab berteriak, menangis.
Zainab kelimpungan, ia hanya mampu bertanya
“Kemana perginya gazebo saya? Kemana perginya gazebo saya?“. dan begitu seterusnya. Para orang asing itu namapak masih belum mengerti, tapi salah satu diantara mereka, laki-laki berperawakan arab nampak mulai menangkap maksud Zainab.
“Gazebo disini sudah kami robohkan dan akan kami bangun objek wisata yang lebih menarik”. Jelasnya.
“Tidak!!, mengapa kalian robohkan”. Zainab histeris. Orang kampong mulai berdatangan, mereka mencoba menenangkan Zainab, memanggil keluarganya. Lelaki berperawakan arab itu mengernyitkan dahinya. “Apa yang terjadi?” ia berguman, ia hampiri laki-laki tua sesepuh dikampung itu.
“Ada apa dengan wanita ini Pak?”. Tanyanya serius.
“Namanya zainab, dia bunga desa kami. 3 tahun silam ia menikah degan Ihsan pemuda kampung ini. Manun malang, satu tahun pernikahan Ihsan yang nelayan terkena badai besar, ia karam bersama kapalnya. Zainab tidak bisa menerima kenyataan itu dan menganggap Ihsan masih hidup hanya belum pulang saja, setiap hari ia kesini untuk menanti Ihsan pulang”. Lelaki berperawakan arab itu mengangguk-angguk.
Satu persatu orang kampung bubar, Zainab sudah berhasil dibawa pulang, ia berada di rumahnya, ia meringkuk didekat jendela, ia gigiti satu persatu jarinya, tatapannya kosong, ia semaki kalut, ia tidak dapat mesakan sekelilingnya Ibunya yang menangisi nasibnya, Bapaknya yang hanya mampu menyanggah dahiya, saudara-saudaranya yang sibuk sana sini mencarikan tabib, yang Zainab tahu hanya dirinya dan rindunya pada Ihsan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

GALLERY TUTORIAL    Pada bagian Tutorial, ada beberapa tutorial yang disajikan: tutorial MS Excel 2016, tutorial Mendeley dan Zotero. U...